468x60 Ads

This is default featured slide 1 title This is default featured slide 2 title This is default featured slide 3 title This is default featured slide 4 title This is default featured slide 5 title

Rabu, 22 Oktober 2014

Membeli dengan Hati #3 by Ari Wijaya

Saat menghadiri acara temu alumni, ada pernyataan yang mengagetkan ketika salah seorang teman tahu profesi Saya sekarang.
“Wow.. tempat Kamu basah itu. Pantas, Kamu kelihatan ‘makmur’ sekarang”.
Saya tersenyum mendengar komentar itu. Saya anggap dia bercanda. Nggak enak memang. Stigma bidang pengadaan memang sudah melekat seperti itu. Saya menimpali dengan lugas.
“Semoga tidak begitu. Semoga keberadaan Saya bisa menjadi ladang amal kepada orang lain, perusahaan dan juga negeri ini. Meski masih kecil sumbangsihnya”.

Bagaimana bisa jadi ladang amal ? Saya akan membahas dari pelaku pengadaan. Sisi orangnya. Manusianya. Pelaku pengadaan bisa : peminta barang/jasa atau user, bagian pengadaan atau sebut saja buyer dan vendor.
Misalnya ditengarai ada ‘kongkalikong’ antara vendor dengan user. Hal semacam ini, acapkali bermuara kepada masalah UUD, ujung-ujungnya duit. Kick back/komisi. Gratifikasi.
Pencegahan dari buyer, dapat dilakukan dengan membuka dan menambah wawasan, berani menolak, dan sikap sadar biaya.Dengan wawasan yang luas, maka buyer dapat mempertanyakan atas spesifikasi yang diminta. Kenapa yang itu ? Bagaimana jika begini ? Dengan kata lain, memberikan alternatif dan solusi kepada user. Secara tidak langsung buyer menolak permintaan user. Namun, tetap memberikan solusi. Material pengganti yang setara. Memberikan alternatif nama vendor lain. Hal ini akan membuat vendor 'pengatur' tak berkutik.
Sikap tersebut dapat ditambahkan sikap sadar biaya. Bahwa pembelanjaan yang sesuai bahkan dapat lebih rendah dari anggaran, dapat meningkatkan keuntungan perusahaan. Sehingga, perusahaan mampu bersaing. Perusahaan tetap eksis. Bisa menggaji karyawannya. Tumbuh berkembang. Bahkan memberikan bonus. Perusahaan tumbuh, karyawan antusias bekerja.
Rantai sederhana ini menggambarkan bahwa dengan menjalankan profesi pengadaan yang baik dan benar, maka Kita mendorong orang untuk memperoleh rezeki yang halal dan baik. Halalan Thoyyiban. Keluarga yang dinafkahi juga mendapatkan keberkahannya. Ini yang Saya sebut sebagai ladang amal.
Nah, bagaimana jika bagian pengadaan atau buyernya juga terlibat ‘kongkalikong’ ? Ini namanya ‘segitiga gila’. Kongkalikong : Vendor-User-Buyer. Cara mencegahnya juga harus lebih ‘gila’. Insya Allah, Saya akan bahas dalam sesi berikutnya.
Jika ingin mendapatkan informasi lebih detail silakan email ke : ariwijaya@gmail.com atau follow twitter saya di : @AriWijayaDj


Membeli dengan Hati #2 by Ari Wijaya

Suatu malam, ketika sedang nonton ’KickAndy', ponsel Saya berdering. Ternyata panggilan dari teman kantor. Saya pindah ke kamar yang kosong. Dan mulai pembicaraan.
Dia menanyakan bagaimana status barang yang dia pesan. Sudah sampai dimana ? Kapan tiba ? Terjadi pembicaraan sengit. Saya memberikan penjelasan panjang lebar. Si penelpon menutup pembicaraan. Tidak menerima penjelasan Saya. Sedih rasanya. Saya keluar kamar dan ternyata anak Saya sedang menghampiri Saya. Duh, ini kayaknya gara-gara suara Saya yang keras. (Maklum pas SMP dan SMA duluuu... sering jadi komandan upacara). Dia menghampiri dan bertanya lirih.
“Pak, memangnya Bapak ngurusi barang. Beli barang gitu. Memang kerjaan Bapak ngapain aja di kantor. Selama ini gitu thok?”
“Iyo le (ya nak), memang tugas Bapak ya seperti itu, membelikan barang orang di kantor. Barang-barang kebutuhan kantor dan proyek. Ada yang impor ada yang dari dalam negeri”.
“Bapak di bagian pembeliankah ? Apa itu, aku pernah dengar, ehmm… purchasing ?”
“Ya, boleh disebut seperti itu. Tapi, Bapak bukan di purchasing tapi di procurement ?” jawab Saya.
“Nah.. lho, apa bedanya, Pak ?” Anak Saya terus mengejar. Penasaran.
Bisa jadi, Kita pun penasaran. Selama ini istilah itu seperti tidak ada bedanya.
Purchasing itu arti bebasnya adalah pembelian. Sedangkan, procurement dapat diartikan usaha mendapatkan barang/jasa atau sering disebut pengadaan.
Purchasing adalah proses memesan dan menerima barang dan/atau jasa. Prosesnya terdiri dari permintaan hingga mengeluarkan purchase order atau sering disebut PO kepada pihak lain. Hingga akhirnya menerima barang dan/ajas jasa yang dipesan. Proses purchasing ini bagian dari proses procurement. Prosesnya lebih sederhana. Sebagai contohnya, begini : Mas diminta Ibu beli beras rojolele ke toko seberat 50 kg. Mas lalu pergi ke toko, beli beras. Harga deal, sepakat. Dan berasnya diterima dengan baik, sesuai keinginan Ibu. Nah, itu proses pembelian atau purchasing. Sering bukan, Kita melakukannya ?
Nah, bagaimana dengan procurement ? Lebih kompleks dari purchasing. Di dalamnya ada kegiatan menentukan permintaan, kegiatan pencarian barang dan jasa (atau lebih sering disebut sourcing). Sourcing itu seperti apa ? Misalkan, melakukan penelitian pasar. Produsen dimana. Supaya tahu siapa pemasok atau supplier (sering juga disebut vendor). Harga pasar berapa. Melakukan penilaian terhadap kinerja pemasok. Ada juga negosiasi kontrak. Selanjutnya ditutup dengan proses purchasing tadi. Sehingga proses procurement lebih luas dan lebih panjang dari proses purchasing.
Sebagai contoh, pembelian beras rojolele tadi. Kita sebelum membeli, menggali informasi, dimana sumber penghasil beras. Siapa saja pemain atau pedagangnya. Berapa harga pasar. Kemudian, Kita temukan pedagang yang bonafid. Misalkan, memilih pedagang Delanggu. Kita melakukan negosiasi dan mendapatkan kesepakatan. Nah, setelahnya Kita order atau pesan. Beras diterima di tempat sesuai permintaan Kita. tepat jumlah. Tepat waktu. Jika Kita puas, maka Kita mengulang membeli dari pedagang tersebut. Jika tidak puas, ada yang tidak sesuai, Kita rundingkan. Jika tidak ada kata sepakat, Kita ganti pedagang. Analogi sederhanya seperti. Proses procurement jarang dilakukan untuk skala kecil. Biasanya dalam jumlah yang relatif lebih besar. Dan mempunyai syarat dan kondisi tertentu. Jadi procurement mempunyai cakupan yang relatif lebih luas.
Jika ingin mendapatkan informasi lebih detail silakan email ke : ariwijaya@gmail.com atau follow twitter saya di : @AriWijayaDj


Membeli dengan Hati #1 by Ari Wijaya

Pernahkah anda dihadapkan suatu keadaan, diminta membelikan barang, tapi setelah dibelikan, orang yang menyuruh malah kecewa berat ? Apa rasanya ? Marah ? Bingung ? Atau malah Introspkesi diri ?
Kalau ingin tidak menjadi beban, maka sebaiknya adalah melakukan introspeksi diri. Kenapa dia marah ? Barangnya tidak sesuai ? Lambat tiba ? Kemahalan ? Dengan menjawab itu, Kita tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Kita naik kelas.
Untuk menjawab pertanyan-pertanyaan itu ada 2 langkah terobosan yang harus dilakukan. Sebut saja 2C. Confirmation atau memastikan. Competency atau keahlian yang mumpuni.

Confirmation
Ketika ada permintaan pembelian, Kita harus memastikan spesifikasinya. Apa yang harus dibeli. Kapan dibutuhkannya. Berapa jumlahnya. Sebagai ilustrasi, masyarakat Jawa (sebut saja Arek Malang, kebetulan Saya lahir dan besar di Malang), menyebut sepeda motor itu, Honda. Apapun mereknya. Karena sepeda motor identik dengan honda. Maaf ya, Aremania. Nah, jika ada permintaan pembelian,  Honda bebek Yupiter, 14 unit, dikirim ke kantor cabang di Sidoarjo (kayaknya buat Bu Ida ini), Semarang (buat Mas Ali Sarbani ?), Medan (buat bu Ina ?) dan seterusnya. Harus tiba di masing-masing kota pada 10 Nopember 2014, misalnya.
Kita harus memberikan konfirmasi. Misalnya, apakah tidak salah. Tidak ada merek Honda jenis Yupiter. Adanya Supra, Vario, dll. Nah, kalau tidak tahu merek juga. Kuper. Kita harus gali informasi. Lihat sekeliling. Alam jadi tempat belajar kita. Honda eh sepeda motor yang seliweran mereknya apa saja. Atau ke 'mbah google', ketik sepeda motor. Insya Allah hanya sepersekian detik muncul.
Jangan sampai ternyata yang pesan itu maksudnya Yamaha. Pemesannya sudah punya persepsi seperti cerita tadi. Sehingga Kita perlu konfirmasi kembali. Yang benar tiba di lokasi adalah speda motor merek Yamaha bebek Yupiter. Bukan Honda. Karena Yupiter itu adalah merek milik Yamaha bukan Honda. Konfirmasikan kembali apa yang diminta.

Competency
Kompetensi lebih fokus pada lokasi pembelian dan bagaimana cara membelinya. Sebagai contoh pembelian sepeda motor tadi, maka dengan melihat sebaran lokasi pengiriman, maka Kita dapat mengawali proses dengan pemetaan lokasi pembelian dan lokasi pengiriman. Pemetaan awal tersebut sangat menentukan proses berikutnya, yaitu bagaimana cara membelinya.
Bagaimana meningkatkan kompetensi itu. Maka, Kita harus sadar betul. kita bukan superman, bukan pula doraemon. Apa pun mampu dan tahu. Kita mempelajari dulu industrinya. Bagaimana tahunya, misalnya Kita pun tidak tahu hal itu ? Call your friend. Baca koran, cari iklan motor. Datangi saja toko motor, gali informasi. Temui 'mbah googl'e juga nggak salah kok. Industri sepeda motor, sepengetahuan Saya, tidak ada yang jual dari pabrik. Mereka menggunakan distributor. Authorized sales, bahasa Maduranya. Kita bisa kontak distributor. Kita kemukan kebutuhan kita. Saya yakin, mereka akan memberikan solusi awal. Proposal namanya. Kita bisa bandingkan apa saja penawarannya. Dan tentunya, dan kita ambil pilihan yang paling optimal. Misalnya : Harga sudah termasuk ongkos kirim, service gratis selama 3 bulan, garansi 3 tahun, ada tambahan safety driving training, dll. Kompetensi bisa dibangun. Tujuan utamanya, agar Kita bisa memberikan lebih daripada yang diharapkan.
Insya Allah, orang yang meminta pembelian tadi puas. Kita pun puas karena dapat memberikan layanan yang sesuai harapan, bahkan lebih.